Pendalaman Iman di bulan Februari yang notabene bulan kasih sayang ini mengangkat tema cinta! Ah yes, love is in the air. Zaman sekarang banyak yang dipusingkan masalah perjodohan / pasangan hidup. Masalah hubungan beda keyakinan (agama, suku, dll) memang sejak dulu menjadi isu yang "sensitif" di Indonesia. Tidak sedikit yang mendapat pasangan yang berbeda (beda kultur, beda agama, beda jenis kelamin (iya lah ya)).
Pernah nggak sih orang tua bilang seperti ini: "Kalau bisa sih seiman, tapi kalau enggak....", "Kalau bisa sih yang sama ras, tapi kalau enggak...” begitulah persepsi yang kadang menjadi tekanan tersendiri dari masyarakat. Persepsi demikian tidak salah, dan memang mempermudah kecocokan dalam hubungan. Para muda-mudi kerap bertanya: “Bagaimana kalau ini terjadi? Apa yang harus dilakukan? Apakah dia jodoh saya dari Tuhan?” Orang tua pun tak luput dari kegalauan: “Kalau anak tanya tentang ini, bagaimana menyikapinya? Apakah alasan cinta itu alasan yang kuat?” Mengutip Sudjiwo Tejo, "Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa". Orang yang kita kasihi bisa saja berbeda agama, prinsip, suku, budaya, dan lainnya. Lalu bagaimana?
Sepertinya topik ini begitu menarik perhatian umat, terbukti dari melonjaknya peserta pada Pendalaman Iman yang dipimpin oleh Romo Firman ini dimulai dengan sesi curhat sharing dari beberapa teman yang memiiki pengalaman tersendiri di romansa lintas kepercayaan: bagaimana kendalanya, bagaimana menjalaninya, suka-dukanya, dan lan-lain.
Dari hasil diskusi dan sharing warga KKIT, dapat diambil beberapa poin. Dalam suatu relasi, sudah seiman dan sesesuai apapun seseorang dengan yang lainnya, tentunya akan ada perbedaan. Berbagai perbedaan jangan sampai mengotak2an kita ataupun membatasi kita dalam mengasihi sesama. Dibandingkan melihat perbedaan2, yang perlu dilihat dari pasangan adalah sensus fidelis (sense of the faithful- keimanan) dari masing2 pribadi. Dengan kata lain, perilaku iman orang itulah yang dapat dijadikan modal/ pegangan bagi kehidupan bersama ke depannya. Hubungan yang penuh kasih, kelemahlembutan, dan ketentraman adalah berharga di mata Allah (1 Petrus 3:1-7).
Gereja memiliki dasar untuk tidak menolak bulat pernikahan beda keyakinan
1Kor -7:12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.7:13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.7:14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.
Dengan demikian, tidaklah dibenarkan jika kita menjadi "sempit" dengan mengotak2an, atau membuat batas2 dalam mencintai. Bukanlah "agama" yg harus diliat, melainkan sensus fidelis dari orang itu, "perhiasan batiniah" yang membuat kedua orang itu bisa saling menguduskan.
Permasalahan nyata yang akan timbul misalnya bagaimana dnegan pendidikan buah hati nanti?
Pada dasarnya romantisme itu diciptakan Tuhan untuk pro-kreasi, jadi berhubungan dengan point sebelumnya yang disebutkan, hubungan antar pasangan itu berpulang pada iman individu terhadap Tuhan yang memerintahkan "Berkembang biaklah...". Sepertinya perlu untk bertanya ke diri sendiri: apakah saya pantas untuk mendidik anak dengan kondisi seperti saat ini (misalnya inter- inter-), tentunya perlu dipikirkan dengan matang. Di kitab hukum kanonik pun diharapkan orang tua sebisa mungkin mendidik anaknya dalam ajaran Katolik, sekalipun salah satu orang tua bukan Katolik.
Tentunya akan ada kompromi, akan ada mengalah. Normal untuk hubungan apapun.
Tantangan khusus bagi hubungan antar keyakinan adalah olah iman dari masing2 individu sehingga perbedaan justru membuat mereka terus belajar dan saling memperkaya iman yang lainnya.
Yang diharapkan adalah dengan melewati semua itu, pasangan dapat menghasilkan KREASI positif yang menjadi inspirasi, garam, dan berkat bagi keluarga dan sesama.